Jusman SD : Rupiah Melemah, Mengapa Kita Tertawa ?
Tahun 1998 saya bekerja di IPTN. Tahun itu tahun yang amat sulit
bagi perusahaan yang bergelut di proses pembuatan pesawat terbang. Kami
menyebutnya sebagai tahun krisis. Ternyata kami tidak sendirian. Semua
industri juga mengalami kesulitan. Orang menyebutnya sebagai tahun
krisis ekonomi Asia. Sebabnya sepele semua ahli ekonomi menyebut
Indonesia tahun 96,97 dan 98 adalah puncak pertumbuhan ekonomi. Tahun
95 kita sebagai bangsa baru saja melewati ulang tahun ke 50. Tahun emas
kemerdekaan. Optimisme berkembang dimana-mana. Itu tahun 1995, tapi apa
yang terjadi tiga tahun kemudian ??
Semua tak menyangka badai krisis akan menghantam semua optimisme.
Tiga tahun kemudian di 98, Indonesia dilanda krisis. Awalnya sederhana
nilai mata uang Bath di Thailand melemah terhadap dolar AS. Mata uang
Bath turun secara drastis. Semua ekonom Indonesia bilang ah mengapa
pusing yang lemah kan mata uang Bath, di Thailand. Ekonomi Indonesia tak
mungkin terganggu. Potensi sumber daya alam banyak. Fondasi ekonomi
kuat. Mengapa khawatir pada pelemahan nilai mata uang Bath. Apa yang
terjadi di Thailand tidak mungkin merambat ke Indonesia. Kita punya
benteng perekonomian kuat dan kokoh seperti Tembok China.
Our line of defence
sangat kuat. Dont worry be happy. Begitu kata semua orang pada Pak
Harto yang saat itu sedang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ketika ekonomi Indonesia
collaps dan hancur berkeping di
tahun 1998, semua ahli ekonomi maju ke depan. Yang tadinya bilang
fondasi ekonomi kuat pada dua tiga tahun sebelumnya kemudian tampil
dengan pelbagai teori. Intinya semua berkata :”apa abang bilang, memang
kita rapuh. Padahal sudah abang peringati, tak ada yang peduli”. Tahun
1998 adalah “nightmare” mimpi buruk bagi perekonomian Indonesia.
Turunnya mata uang Bath, memiliki efek domino pada mata uang rupiah.
Ternyata dibalik kekokohan fondasi ekonomi yang disebut oleh para ahli
dan secara kasat mata terlhat kokoh dan kuat tersembunyi kelemahan.
Ada lima pelajaran yang saya tulis dalam catatan harian saya berkenan
dengan krisis ekonomi tahun 98. Saya membuat catatan karena kebetulan,
pada tahun 1996 Prof Dr. Ing BJ Habibie, boss saya memberikan tugas
menarik pada saya. Suatu hari di jumat pagi ketika saya sedang sarapan
pagi bersama isteri saya, mesin fax saya berbunyi tat tut tit. Tanda ada
fax masuk tapi kertas habis. Kemudian saya mengganti kertas sebab sudah
kebiasaan biasanya kalau mesin fax hidup di hari jumat pagi, pastilah
ada hal penting dari Pak Habibie, yang harus dikerjakan. Sebab beliau
tidak ingin saya hanyut dalam liburan sabtu dan minggu. Kalau fax-nya
panjang, Pasti ada perintah Boss berkenaan dengan analisa data. Fax
tanpa telpon, artinya Assignment tak biasa .
Maklum di tahun 1996 saya baru ditunjuk menjadi Direktur Sistem Senjata dan Sistem Antariksa PT IPTN oleh Pak Habibie.
Benar saja, tak lama kemudian setelah kertas baru diinstall, mesin
faks bekerja tanpa henti. Lembar demi lembar mengalir keluar. Isinya
pelbagai angka dan catatan tangan yang khas. Catatan Prof Habibie di
lembar kertas faks itu. Saya tau itu adalah “assigment” , tugas lain
saya bukan sebagai Direktur Sistem Senjata, melainkan tugas sebagai
seorang asisten. Sebagai “computational aerodynamics yang berfungsi
membuat pelbagai simulasi model matematika” jika diperlukan. Lama saya
mempelajari apa yang diminta, Yang tertera diatas kertas hanya simbol
lambd, alpha dan gama serta psi, istilah variabel matematik yang amat
digemari Prof Habibie kalau beri assignment pada saya.
Singkat cerita setelah itu selama lebih tiga bulan tanpa henti siang
dan malam saya ternyata diminta oleh beliau membuat simulasi model
matematika tentang kaitan suku bunga bank, inflasi, perubahan nilai
tukar dalam perubahan tingkah laku kurva supply and demand dari dua
jenis mekanisme pasar. Pasar terbuka dan pasar terkelola. Beliau memberi
“pekerjaan rumah” untuk membuat simulasi model matematika dari kaitan
antara fiskal and moneter dari lima negara Amerika, Jerman, Perancis,
Jepang dan Indonesia.
Saya bukan ahli ekonomi. Pelajaran ekonomi saya ketika di ITB hanya
diberikan oleh Prof Suharsono Sagir , Pengantar Ilmu Ekonomi. Saya
dididik selama 10,000 jam tanpa henti oleh assignment Pak Habibie
menjadi ahli perancangan pesawat terbang dan
“computational/mathetemtical modelling aerodynmaics”. Karenanya dengan
assigment tidak biasa ini, setiap hari saya harus membaca buku untuk
memahami apa yang disebut dengan M1,M2 apa yang disebut dengan
velocities of moneys, flux of money. Sebab intrument equation saya
adalah pesawat terbang.
Fenomena pasar terkelola yang cenderung selalu stabil didekati dengan
equation stability pesawat terbang komersial angkut penumpang, Boeing
atau Airbus, Sementara fenomena pasar bebas di mana krisis,
business cycle , fluktuasi, chaos bisa terjadi di tempat yang tak terduga didekati melalui simulasi gerak
“instability and maneuverability”
pesawat tempur F16 dalam “multi equilibirium” keseimbangan yang
bersifat sementara dan cenderung ringkih jika tidak ada maneuver(yang
fly by wire, perubahan cepat dikelola dalam setiap perubahan tingkat
stablititas)
Awalnya karena saya tidak hini assigment apa, saya telah membuat
semua data itu masuk ke dalam formula “systems dynamics” yang
menggambarkan gerak tingkah laku pesawat terbang dalam pelbagai
perubahan cuaca dan ketinggian terbang serta perubahan konfigurasi. Kita
menyebutnya pendekatan “matriks koefisien pengaruh” dalam enam derajat
kebebasan yang memperlakukan semua variabel, data dan angka tidak
sebagai “just number” atau skala, melainkan sebagai suatu variabel yang
dipengaruhi dan mempengaruhi variabel lainnya dalam perubahan ruang dan
waktu. Tiap variabel menjadi vektor. Punya besar dan punya arah. Hasil
kajian saya yang kemudian melahirkan dialog intens dengan Prof Habibie,
melahirkan dokumen tebalnya 400 halaman.
Semua berisi model matematika suku bunga, inflasi, dan nilai tukar
dalam perubahan tingkah laku pasar. Prof Habibie kemudian menyebutnya
sebagai Teori Zigzag dalam mengendalikan nilai tukar yang kemudian
digunakan oleh beliau ketika menjadi Presiden ketiga ditengah krisis
ekonomi tahun 98. Kalau kini saya teringat itu, kadangkala saya sering
merasa sangat bersyukur mendapat kepercayaan Prof Habibie menjadi
pengolah data dan pengembang model matematika selama hampir lebih
sepuluh tahun sejak 1983 hingga 1996.
Pengalaman itu yang menyebabkan kini saya sedikit merasa hawatir
melihat pergerakan rupiah yang terus melemah. Apalagi saya semakin lebih
khawatir ketika semua Pemimpin penentu arah kebijakan ekonomi baik
pengelola fiskal maupun pengelola moneter yang terlihat masih terus
tertawa dan menyatakan “tidak apa apa, tidak apa”, Kita aman. Malah ada
yang mengatakan kalau nilai rupiah terus merosot malah kita untung.
Cadangan devisa meningkat, dan ekspor akan terus melaju “current account
defisit” akan menyempit karena devisa masuk. Tahun 98 tidak sama dengan
tahun 2015. Jangan hawatir. Kita telah banyak belajar dari tahun 98 dan
dunia telah jauh berubah dibanding tahun 98. Krisis ekonomi adalah masa
lalu dan dimasa kini Insya Allah krisis ekonomi tidak bakal dan tidak
akan terjadi.
Sebuah optimisme yang bikin kita lega. Akan tetapi apakah benar demikian ?
Tahun 2015 adalah tahun pertama dari Pemerintahan Jokowi JK. Pada
tahun ini terjadi suatu gejala ekonomi yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Harga minyak dunia turun drastis. Tiba-tiba persoalan beban
subsidi dalam APBN hilang lenyap begitu saja. Berganti optimisme ada
anggaran tersedia untuk membangun infrastruktur. Sebab subdidi BBM kini
sudah dialihkan. Ini berkah. Akan tetapi muncul tekanan pertama secara
perlahan tapi pasti nilai tukar rupiah terhadap dollar turun.
Hari kemarin menyentuh angka terendah sejak krisis ekonomi 98 yakni
menyentuh pada angka Rp 13.000 rupiah. Angka yang melebihi asumsi APBN
12500. Perbedaan 500 rupiah per dolar yang tidak menghawatirkan kata
pengelola Fiskal dan Moneter. Asumsi APBN berubah, kita masih tenang
tenang. Alarm atau Early Warning Systems kita menyatakan aman. Bahkan
ada yang berteori bahwa menurun hingga 15000 seperti tahun 1998 pun
mungkin kita tidak apa apa. Ada Negara yang punya fenomena begitu Turki
begitu argumennya. Menarik untuk disimak.
Bagi pelaku industri perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar merupakan sesuatu yang sangat ditakutkan. Kenapa?
Pertama, ia melahirkan ketidak pastian Top Line and Bottom Line akhir
tahun. Revenue dan Profit menjadi sukar diprediksi. Sebab harga jual
produk dipasar juga mengikutinya. Apalagi jika penurunan nilai tukar itu
berfluktuasi sepanjang waktu. Harga produk di pasar akan mengalami
“ajustment” sebab produk sejenis di pasar akan mengalami pasang surut.
Terutama bagi industri otomotif dan elektronik.
Kedua, industri yang sedang melakukan proses modernisasi barang modal
juga akan ketar-ketir. Barang modal berupa mesin dan alat peralatan
utama pada umumnya adalah barang impor. Untuk membeli barang modal
biasanya industriawan melakukan proses penyicilan. Hutang dibuat tahun
2012 dan 2013 ketika ekonomi membaik dan optimisme hadir. Pada saat
hutang dibuat nilai dolar terhadap rupiah masih dalam kisaran Rp 9000,
kini ketika hutang jatuh tempo terjadi nilai rupiah merosot ke angka Rp
13.000. Ada perbedaan Rp 4.000 rupiah. Hampir 50 % dalam tiga tahun. Itu
berarti jika ada utang 1 juta dolar tahun 2013, utang itu bernilai Rp 9
Miliar . Kini utang itu menjadi Rp 13 Miliar. Tanpa ada problem kinerja
perusahaan, utang meningkat hampir 50 %. Bayangkan jika ada
perusahaan baik swasta maupun BUMN yang uutang ketika dolar bernilai Rp
9. 000 sebesar US 100 Juta dolar, yang berarti Rp 900 Miliar???
Pastilah kini ia harus merogoh kocek lebih dalam dengan nilai tukar
dolar AS berharga Rp 13. 000, artinya ada tambahan utang Rp 400 Miliar.
Mesin yang dibelinya jadi lebih mahal 50 %. Apalagi jika pajak dihitung
dalam dolar AS. Ampun dah kata dirutnya.
Ditengah perubahan nilai tukar terhadap dolar berarti industri harus
melakukan proses penyesuaian. Kurva penurunan nilai rupiah terhadap
dolar harus dicermati setiap detik dan setiap hari. Sebab dampak
terhadap peningkatan biaya operasi akan merangkah sepanjang waktu tanpa
terasa.
Diperlukan langkah sistematis dan berkesinambungan untuk proses
efisiensi dan penurunan biaya operasi. Penurunan biaya ini kadangkala
menyebabkan kekuatan penetrasi produk menyempit dan pada gilirannya
profit mengkerut dan makin lama makin mengecil. Perusahaan yang tadinya
tumbuh kini sedikit oleng. Seperti pesawat menghadapi cuaca buruk, ada
goncangan yang tidak nyaman.
Ketiga, tagihan vendor luar negeri meningkat. Industri masa kini
adalah industri global. Tidak mungkin ada industri manufaktur produk
semua bahan mentah atau produk setengah jadi berasal dari Indonesia.
Tidak mungkin industri Otomotif atau Industri Elektronik atau Industri
Pesawat Terbang ataupun Tekstil bahan bakunya tidak ada yang diimpor.
Kecil atau besar pastilah ada yang diimpor. Dari 3000 komponen mobil
untuk melahirkan sebuah mobil paling tidak ada 1500 komponen yang
diimpor. Impor berarti mengganti rupiah terhadap dolar. Nilai barang
menjadi lebih mahal.Biaya produksi meningkat, daya kompetisi mengecil.
Dengan kata lain setiap kenaikan harga dolar AS seribu rupiah yang
disebut oleh Gubernur Bank Indonesia tidak mempunyai pengaruh, besar
dampaknya bagi kekuatan industri dalam negeri yang strukturnya masih
tergantung pada komponen impor. Dunia yang global ini menyebabkan
Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh nilai tukar terhadap
kekuatan industri dalam negeri.
Rumus :”Hope for the best prepare for the worst” menurut hemat saya
perlu tetap dipegang. Lihat data dan fakta sebagaimana adanya. Analisa
setiap perubahan angka rupiah terhadap dolar betatapun kecilnya. Sebab
angka itu bukan sekedar angka statistik. Melainkan hasil interaksi
pelbagai kekuatan pasar yang sedang bekerja. Kita berada dalam sistem
yang memiliki kompleksitas. Krisis ekonomi bisa menyergap tanpa
diundang, ketika semua orang tertawa lebar. Itu pelajaran economy
crises tahun 1998, yang Insya Allah tidak akan terjadi.
Sumber
http://www.unilubis.com/2015/03/12/jusman-sd-rupiah-melemah-mengapa-kita-tertawa/
Facebook Pak Jusman Syafii Djamal, komisaris utama PT Garuda Indonesia